Sabtu, 03 Oktober 2015

CERPEN

Diposting oleh Unknown di 14.22
                         
  Berakhir di Gaun Fuchsia



T
idak terasa hari ini adalah hari wisudaku di salah satu universitas terkenal di Jakarta. Papa dan mama terlihat sangat bahagia saat melihat kelulusan anak satu-satunya ini,  setiba kami di rumah, aku dikejutkan dengan sosok lelaki tampan berkacamata yang berdiri tepat di depan pintu rumahku dengan membawa sebuket bunga. Senang, terharu, dan kaget bercampur aduk menjadi satu dalam perasaanku.
     Namaku Aqilla Putri Zalita, biasa dipanggil Lala. Hari ini bukan hanya hari wisudaku, tetapi juga hari ulang tahunku yang ke 23 tahun. Yang tadi itu adalah kak Efran kakak kelas di SMA-ku dulu yang sudah 7 tahun aku tidak pernah bertemu dengannya karena setelah lulus SMA dia memilih untuk melanjutkan studi di Brown University,  London. Kami sangat dekat bahkan sesering mungkin menyempatkan waktu hanya untuk sekedar berkomunikasi. Namun, kepulangannya ke Indonesia sontak membuatku kaget. Saat itu papa dan mama berteriak, “SUPRISEEEE…”
Kak Efran memberikanku sebuket bunga tadi sambil berkata, “Selamat ya, dek wisudanya, happy milad juga.”
Hatiku menggebu-gebu, di saat itu pula tiba-tiba papa menanyakan sesuatu kepadaku, “La, papa punya hadiah buat kamu. Selama ini kamu pengen kan traveling keliling Eropa?”
Dengan antusias aku pun menjawab “Pengen banget banget banget, Pa!” ekspresiku berusaha meyakinkan.
Papa mengeluarkan sesuatu yang sepertinya dari tadi disimpan di saku celananya, “Mungkin Papa cuma bisa kasih kamu tiket ke Chordoba, daripada kamu cuma jalan-jalan gak jelas, lebih baik kamu ke Chordoba sambil belajar sejarah perkembangan islam di sana.”
“ Yah, Pa tapi kan Kak Efran baru aja pulang ke Indonesia,” sahutku.
“Sudah La kamu berangkat aja, di sini aku juga masih lama kok,” jawab Efran. Setelah cukup lama memikirkan akhirnya aku memutuskan untuk pergi ke Chordoba.

            Senja di ufuk langit Chordoba. Tidak bisa kubayangkan aku sudah tiba di salah satu tempat bersejarah di dunia yaitu Chordoba, saat ini aku berdiri di sebuah pantai nan indah.
“Aduh!!!” aku hampir tersungkur karena sengaja disenggol oleh sesosok pria. “Hei La, lo masih inget gue nggak? Gue Fajar temen SD lo dulu.”
“Wei Jar, gue inget lo, dasar lo masih kayak bocah aja lo dari dulu nggak berubah-berubah kelakuannya.”
“Makin cantik aja lo ya La, dulu lo kan gendut,” ujarnya sambil tertawa terbahak-bahak.
“Mending gue upgrade, nah elo? Masih sama aja.”
“Hahaha oh ya La, kenalin ini temen gue Bima, eeittss dia pemalu La.” Aku berusaha menjulurkan tanganku untuk bersalaman, namun Bima hanya membalas dengan senyuman sambil berkata Assalamualaikum. Saat itu Fajar hanya memberikan kode kepadaku yang mungkin semua orang pun tau kenapa Bima tidak mau bersalaman denganku. Saat itu Fajar mengajakku keliling Chordoba selama aku di sana tentunya bersama Bima dan beberapa temannya yang lain.
Di suatu hari saat berada di pinggiran masjid Fajar terus-terusan mengajakku ngobrol sambil bercanda.
“Eh jar, gimana tuh lo sama Lia? Kalian masih pacaran?” tanyaku.
“Pacaran? Aelaaah La masih jaman aja lo pacaran, gue udah nikah lagi sama dia sebelum gue lulus sarjana, itu karena Bima, dia ngasih gue sedikit pencerahan kalau pacaran itu haram, jadi pilih nikahi atau tinggalkan. Berhubung gue ini cowok gentle ya gue nikahin lah dia,” jawabnya.
Aku kebingungan merasa tidak percaya, “Ah serius lo jar, lo dulu pas terakhir kita reuni aja bilangnya gak pengen cepet-cepet nikah karena malas cepet-cepet punya anak yang bagi lo anak-anak itu kayak monster.”
Salah satu temannya berusaha meyakinkanku, “Iya Mbak, Fajar itu sudah menikah, dia ke Chordoba untuk melanjutkan studi S2-nya, yang belum menikah itu Mas Bima. Mungkin Mbak mau mendaftar menjadi calon istrinya?” Aku hanya bisa nyengir pada saat itu.
          Beberapa hari menelusuri Chordoba bersama mereka, aku melihat ada sesuatu yang jarang dimiliki oleh lelaki lain dari sosok Bima. Ibadahnya rajin dan dia cukup manis walaupun dia tidak setampan kak Efran, tidak sadar aku termenung.
“La mikirin  apa lo? La, lo tau nggak kalau gue salut banget sama Bima? Gue banyak banget belajar dari dia, dan sharing ilmu-ilmu islam bareng dia dan teman-teman yang lain. Sayang banget dia susah buat deket apalagi punya perasaan sama cewek makanya sampai sekarang dia belum nikah, padahal beda umurnya sama kita itu  5 tahun. Lo jadi istrinya aja La dia itu rajin ibadah, rajin mengaji, rajin menabung, dan lain lain.”
“Hahaha lo promosi jar?” jawabku.
“Enggak sih saran aja, katanya dia bakalan datengin langsung orang tua wanita yang dia suka, tapi sampai sekarang semuanya masih terlihat burem.”
“Hahaha, muke lu burem,” candaku.
Tidak terasa perjalanan singkatku  di Chordoba sudah selesai, ketika dalam perjalanan, aku tiba-tiba melihat Kak Efran sedang bergandengan tangan dengan wanita lain saat itu. Rasaku yang dulu aku simpan kepadanya hingga sekarang mendadak hilang seketika dan berubah menjadi perasaan ilfeel. Sudahlah aku menyerah saja untuk bersamanya, toh dia seperti itu.
        Malam harinya, aku menerima beberapa chat line, dan telpon masuk dari Kak Efran. Dia tahu aku pulang hari ini, dan berusaha untuk menghubungiku. Akan tetapi, aku tiba-tiba sudah muak akan kehadirannya.
Bel rumahku berbunyi.
                                       “Ting tong”
                                                      “Ting tong”
           Mama masuk ke kamarku sembari berkata, “La, di luar ada Efran tuh, samperin sana! Katanya kamu nggak ngejawab telponnya makanya dia ke sini.“
“Nggak mau ma, bilang aja aku udah tidur ya, aku udah males ngeliat dia.”
“Loalaah ada apa, sih? Cerita dong sama mama,” tanya mama.
“Tadi aku lihat dia gandengan sama cewek lain, Ma, aku tahu itu bukan mamanya, bukan adiknya, apalagi saudaranya, tolong ya Ma bilang aja aku udah tidur.”
“Oh ya udah deh kalau gitu,” jawab mama.

         Esok harinya, aku mendengar suara bel rumahku berbunyi lagi dan aku pun malas-malasan untuk membuka pintu rumahku. Ketika aku melihat ke jendela astaga itu Bima. Dia datang bersama kedua orang tuanya ke rumahku. Aku kaget serta bingung. Dia datang ke rumahku ingin bertemu kedua orang tuaku dan saat itu juga dia melamarku. Papa dan mama menyerahkan semua keputusan kepadaku, aku meminta waktu tiga hari untuk memikirkannya. Setelah beberapa kali shalat istikharah akhirnya aku mantap dengan pilihanku. Aku menerimanya sebagai calon suamiku.
       Saatnya pun tiba dengan menggunakan baju pengantin berwarna fuchsia saat itu, aku sudah resmi menjadi pendampingnya. Aku pun kembali ke Chordoba dan tinggal di sana setelah menikah.

0 komentar:

Posting Komentar

 

My Story Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea